Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Meneg PAN & RB),EE Mangindaan mengingatkan kepala daerah, terutama mereka yang baru terpilih sebagai kepala daerah untuk tidak sewenang-wenang menempatkan atau memosisikan para pegawai negeri sipil (PNS) di daerahnya tanpa melihat ketentuan perundang-undangan. Pasalnya, Kemenpan dan Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) sedang membahas, bagi kepala daerah yang tidak melakukan pembinaan karir PNS secara benar, bakal dikenai sanksi.”kemarin Jumat,5 agustus 2011 pagi pada rapat dengan Bapak Wapres (Boediono, Red), sudah ada pemaparan Mendagri soal hal semacam itu dan bagaimana menyikapinya. Untuk itu, karena saat ini sedang dalam pembahasan revisi UU 32 Tahun 2004 tentang Pemda, dan Kemenpan berkepentingan dalam hal ini melalui UU Nomor 43 tahun 1999 (Tentang perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, Red), kita akan memasukkan poin pemberian sanksi bagi kepala daerah yang sewenang-wenang terhadap PNS,” ungkap EE Mangindaan kepada wartawan saat jumpa pers di Kantor KemenegPAN dan RB, Jumat,5 agustus 2011.
EE Mangindaan menjelaskan hal ini menjawab pertanyaan Timor Express sekaitan dengan keputusan Bupati TTU, Raymundus Sau Fernandes yang mana setelah dilantik sebagai Bupati terpilih, langsung melakukan proses mutasi. Anehnya, dalam proses mutasi itu, mantan Wakil Bupati TTU tersebut menjatuhkan hukuman disiplin kepada lebih kurang 14 PNS lingkup Pemkab TTU berupa pembebasan dari jabatan struktural, pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri, dan penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama satu tahun. Alasan pemberian hukuman itu sendiri karena diduga para pejabat tersebut terlibat politik praktis dalam proses Pemilukada untuk memilih Bupati dan Wakil Bupati TTU periode 2010-2015.
Menurut Mangindaan, banyak kejadian yang seperti ini, sehingga dalam rapat bersama Wapres kemarin, sudah dibicarakan agar dimasukkan pasal yang terkait dengan sanksi, termasuk dengan mekanisme pengawasan pembinaan PNS oleh pusat.”Ini semua sedang kita kaji untuk diatur dalam rencana moratorium yang diharapkan dapat dilaksanakan mulai September tahun ini,” ungkap Mangindaan yang kemarin didampingi Sekretaris KemenegPAN & RB, Tasdik Kinanto, Deputi Bidang Sumber Daya Aparatur KemenegPAN & RB, Ramli Naibaho, Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN), Asmawi Rewansyah, dan Kepala Biro Hukum dan Humas Kemeneg PAN & RB, Gatot Sugiarto.
Terkait dengan rencana moratorium, Mangindaan mengatakan bahwa, konsep yang dipakai dalam moratorium ini adalah penataan personil dan kelembagaan. Dasar dilaksanakan moratorium ini, kata Mangindaan, karena sejak ditetapkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 yang diganti dengan UU 32 Tahun 2004 tentang Pemda telah membawa sejumlah konsekuensi. Diantaranya, penyerahan pegawai dari pemerintah pusat kepada daerah yang jumlahnya mencapai 2,2 juta menjadi PNS daerah, pengangkatan sekdes menjadi PNS (46.021 orang), pengangkatan tenaga honorer sejumlah 899.866 PNS sebagai amanat PP Nomor 48 Tahun 2005 jo PP Nomor 43 tahun 2007 ditambah lagi rencana pengangkatan tenaga honorer kategori I dan II. Hal lain yang ikut melatarbelakangi rencana moratorium ini, lanjut Mangindaan adalah pemekaran wilayah/daerah sejak 2001 sampai 2009, yang melahirkan tujuh provinsi baru dan 154 kabupaten/kota baru yang berdampak langsung terhadap banyaknya permintaan penambahan PNS termasuk pengangkatan honorer. Pembentukan satuan organisasi daerah yang diamanatkan UU diluar sektor (diluar PP Nomor 41/2007) yang berdampak kepada permintaan tambahan kebutuhan PNS, serta kebijakan peleburan/penggabungan/pembubaran instansi (Depsos dan Deppen).”Semua ini membawa dampak yang sangat besar terhadap jumlah, komposisi, dan distribusi yang tidak proporsional serta penempatan PNS yang tidak sesuai kompetensi. Hal ini berdampak ketidakseimbangan (mismatch) antara kompetensi PNS dengan persyaratan jabatan. Karena itulah, moratorium ini dilakukan dengan maksud untuk melakukan pembenahan dan penataan antara kebutuhan organisasi dan kebutuhan PNS,” papar Mangindaan.
Mangindaan menyebutkan, rencana penataan ini jika dapat dilaksanakan setahun, maka moratorium akan dilakukan setahun, atau jika harus dilakukan dua tahun, maka dilaksanakan dua tahun. Meski demikian, Mangindaan menyebut, hal tersebut tidak berlaku secara nasional dan kaku, namun fleksibel dan disesuaikan dengan kebutuhan.”Misalnya dalam tahun ini ada 107.418 PNS yang pensiun, maka kita akan kaji seperti apa kebutuhannya, mana yang prioritas. Misalnya di LP, ada sipir yang pensiun, dan sangat mendesak kebutuhan itu, maka kita menganggap hal yang mendesak sehingga harus diprioritaskan. Intinya kita kaji secara baik karena menyangkut nasib PNS,” pungkas mantan Gubernur Sulut itu.
EE Mangindaan menjelaskan hal ini menjawab pertanyaan Timor Express sekaitan dengan keputusan Bupati TTU, Raymundus Sau Fernandes yang mana setelah dilantik sebagai Bupati terpilih, langsung melakukan proses mutasi. Anehnya, dalam proses mutasi itu, mantan Wakil Bupati TTU tersebut menjatuhkan hukuman disiplin kepada lebih kurang 14 PNS lingkup Pemkab TTU berupa pembebasan dari jabatan struktural, pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri, dan penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama satu tahun. Alasan pemberian hukuman itu sendiri karena diduga para pejabat tersebut terlibat politik praktis dalam proses Pemilukada untuk memilih Bupati dan Wakil Bupati TTU periode 2010-2015.
Menurut Mangindaan, banyak kejadian yang seperti ini, sehingga dalam rapat bersama Wapres kemarin, sudah dibicarakan agar dimasukkan pasal yang terkait dengan sanksi, termasuk dengan mekanisme pengawasan pembinaan PNS oleh pusat.”Ini semua sedang kita kaji untuk diatur dalam rencana moratorium yang diharapkan dapat dilaksanakan mulai September tahun ini,” ungkap Mangindaan yang kemarin didampingi Sekretaris KemenegPAN & RB, Tasdik Kinanto, Deputi Bidang Sumber Daya Aparatur KemenegPAN & RB, Ramli Naibaho, Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN), Asmawi Rewansyah, dan Kepala Biro Hukum dan Humas Kemeneg PAN & RB, Gatot Sugiarto.
Terkait dengan rencana moratorium, Mangindaan mengatakan bahwa, konsep yang dipakai dalam moratorium ini adalah penataan personil dan kelembagaan. Dasar dilaksanakan moratorium ini, kata Mangindaan, karena sejak ditetapkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 yang diganti dengan UU 32 Tahun 2004 tentang Pemda telah membawa sejumlah konsekuensi. Diantaranya, penyerahan pegawai dari pemerintah pusat kepada daerah yang jumlahnya mencapai 2,2 juta menjadi PNS daerah, pengangkatan sekdes menjadi PNS (46.021 orang), pengangkatan tenaga honorer sejumlah 899.866 PNS sebagai amanat PP Nomor 48 Tahun 2005 jo PP Nomor 43 tahun 2007 ditambah lagi rencana pengangkatan tenaga honorer kategori I dan II. Hal lain yang ikut melatarbelakangi rencana moratorium ini, lanjut Mangindaan adalah pemekaran wilayah/daerah sejak 2001 sampai 2009, yang melahirkan tujuh provinsi baru dan 154 kabupaten/kota baru yang berdampak langsung terhadap banyaknya permintaan penambahan PNS termasuk pengangkatan honorer. Pembentukan satuan organisasi daerah yang diamanatkan UU diluar sektor (diluar PP Nomor 41/2007) yang berdampak kepada permintaan tambahan kebutuhan PNS, serta kebijakan peleburan/penggabungan/pembubaran instansi (Depsos dan Deppen).”Semua ini membawa dampak yang sangat besar terhadap jumlah, komposisi, dan distribusi yang tidak proporsional serta penempatan PNS yang tidak sesuai kompetensi. Hal ini berdampak ketidakseimbangan (mismatch) antara kompetensi PNS dengan persyaratan jabatan. Karena itulah, moratorium ini dilakukan dengan maksud untuk melakukan pembenahan dan penataan antara kebutuhan organisasi dan kebutuhan PNS,” papar Mangindaan.
Mangindaan menyebutkan, rencana penataan ini jika dapat dilaksanakan setahun, maka moratorium akan dilakukan setahun, atau jika harus dilakukan dua tahun, maka dilaksanakan dua tahun. Meski demikian, Mangindaan menyebut, hal tersebut tidak berlaku secara nasional dan kaku, namun fleksibel dan disesuaikan dengan kebutuhan.”Misalnya dalam tahun ini ada 107.418 PNS yang pensiun, maka kita akan kaji seperti apa kebutuhannya, mana yang prioritas. Misalnya di LP, ada sipir yang pensiun, dan sangat mendesak kebutuhan itu, maka kita menganggap hal yang mendesak sehingga harus diprioritaskan. Intinya kita kaji secara baik karena menyangkut nasib PNS,” pungkas mantan Gubernur Sulut itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar